𝗞𝗮𝘂 𝗠𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴
Lucu, kadang aku ingin menulis agar seseorang membacanya, namun kadang lainnya aku menulis karena menyakini seseorang tak akan membacanya. Dan ini aku tulis dengan anggapan kau tak akan pernah membacanya.
Apa yang lebih pekat dari malam, mungkin adalah darah yang mengental di dadaku. Ia amarah yang tak mampu dituangkan dalam bentuk apapun, sebab terlalu racun jika ia kujadikan kata-kata untuk memujamu.
Adalah kau aliran yang memiliki muara satu namun beribu hulu. Aku jadi pecundang yang menghakimi wanita lain yang memoles bibir merah merona untuk atensimu yang begitu luas.
Seharusnya kau yang kudakwa bersalah bukan. Tapi kita apa?
Kaki yang berlari sendiri, mencari validasi sana sini, bertemu di berisiknya kata-kata, menitisnya sebagai pedang untuk saling menebas.
Aku suka dengan kelihaianmu memantik amarah, sedang kau senang melihatku yang ingin meledak menahan murka. Kita beradu dengan argumentasi dan emosi, seolah mudah sekali mengatasinya hanya dengan seulas senyum tiga jari.
Pada rongga dadaku, jauh sebelum bertemu kau, ada penyakit yang mengakar. Semacam pongah yang mudah melenggang saat merasa tak diinginkan. Sebab percaya, di tempat lain aku diinginkan dengan sedemikian rupa.
Lalu kau hadir seolah ingin menguji, sampai dibatas mana aku akan mendambamu. Kau menjadi seperti kebanyakan adam yang kutemui, penuh penguasaan dan dominasi.
Sayang, aku tak pernah tertarik berkompetisi.
Bukankah lebih baik mati dalam rindu daripada berlutut kepada hal yang tak tentu?
Entah kau mau berlabuh di mana kau ingin, menetap di mana kau nyaman, atau pada akhirnya berpindah lagi ke lain pelukan, merah di dadaku lebih baik menggumpal daripada luruh hanya untuk mengakui kenyataan; kau menang keparat, 𝗮𝗸𝘂 𝘁𝗲𝗹𝗮𝗵 𝗷𝗮𝘁𝘂𝗵 𝗰𝗶𝗻𝘁𝗮.
Ditulis oleh Safiah Damayanti
Komentar
Posting Komentar