𝗠𝗲𝗺𝗮𝗮𝗳𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗶𝗿𝗶 𝘀𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶
Aku tidak tahu siapa yang akan membaca ini, siapa yang membutuhkan tulisan ini, dan siapa yang akan merasakannya. Aku akan tetap menulisnya, tidak peduli jika ini akan sampai mata orang baik, para pecundang, yang berbahagia, atau siapapun yang sedang berselimut duka.
Aku menuliskannya setelah aku selesai dengan satu kebencian, kepada diriku sendiri. Aku menuliskan ini, setelah aku memaafkan diriku, menyadari bahwa melebihi dendam kepada seseorang, kebencian kepada suatu sifat, atau apapun yang melibatkan siapapun, bagian terpenting dari kedamaian dan ketenangan hidup ada pada diriku sendiri.
Aku pernah percaya kepada seseorang, lalu dikhianati tanpa sisa. Aku pernah meletakkan harapan dengan janji seseorang, lalu diingkari hingga akarnya. Aku pernah peduli kepada seseorang, lalu diabaikan sebegitunya. Aku pernah berjuang untuk seseorang, lalu ditinggalkan tanpa kata-kata. Aku pernah selalu ada untuk seseorang, hanya dimanfaatkan demi kesenangannya. Aku juga pernah mencintai seseorang, lalu dihancurkan tanpa sisa.
Lalu, aku mulai membunuh setiap kepercayaan seseorang. Mulai mengingkari semua janji yang aku buat. Mulai berhenti peduli dan membiarkan setiap orang sekarat dengan pilihan masing-masing. Mulai berhenti berusaha untuk hubungan apapun. Mulai berhenti menjadi pendengar ataupun yang memberikan pelukan. Dan, mulai tak lagi mencintai.
Hingga berakhir, aku menghabisi diri sendiri, dengan menyakiti orang-orang. Aku menghancurkan diriku sendiri, dengan menghancurkan orang-orang. Tak peduli ia bersalah kepadaku atau bukan, tak peduli ia menyakitiku atau tidak, aku mulai terlatih menjadi brengsek untuk banyak orang.
Barangkali, hanya pembunuh yang bisa membunuh pembunuh.
Aku terbunuh suatu malam, dengan pisau yang aku serahkan sendiri dengan sadar. Aku mati, kebajingan itu turut serta hilang dalam diriku. Akal sehatku turut mati dan hatiku akhirnya menjerit karena lelah dipaksa mati, di titik itu aku melihat, seberapa banyak nyawa yang aku biarkan terkapar demi keegoisanku sendiri.
Aku porak-poranda namun menolak menjadi salah, aku hancur namun menunjuk banyak kambing hitam, kehidupan menjadi korban yang paling sering aku tunjuk sebagai terdakwa atas hilangnya semua kebaikan dalam diriku. Padahal, akulah yang memilih menjadi biadab.
Kau tahu apa yang paling sulit diakui semua orang, mengakui ke dirinya sendiri bahwa dialah yang bersalah. Setelah perdebatan panjang, aku mengakuinya, bahwa akulah yang telah menghancurkan diriku sendiri.
Aku tertawa saat mengakuinya pertama kali, mengingat seberapa sering aku mengatakan kepada orang-orang bahwa bagian paling sulit di negara ini adalah mengakui bahwa banyak hal dalam tatanan hidup kita salah. Kita akan selalu berakhir dengan pembenaran dan pembelaan. Hal yang ternyata aku lakukan berkali-kali.
Aku tidak tahu di hari keberapa aku menangis lalu tertawa, merasa kosong lalu riuh, merasa sepi lalu ramai, hingga di satu titik atas semua kesalahanku, perihal Tuhan, perihal agama, perihal negara, perihal keluarga, perihal adat, perihal sosial, perihal patriarki, perihal cita, perihal teman, perihal cinta dan semua aspek yang telah membongkar pasang kehidupanku, aku terima bahwa aku bersalah dan aku telah hidup dengan semua kesalahan itu.
Aku mulai belajar meminta maaf, kepada diri sendiri. Entah berapa banyak kesalahan, terkadang masih melakukan pengingkaran, lalu kembali menerima. Pernah aku menghukum diri sendiri, ingin melarikan diri sekali lagi. Lalu kembali bertanggungjawab, membiarkan ingatanku penuh oleh pemikiran jahanam. Mengurai satu-satu, memeluknya satu-satu, melepaskannya satu-satu.
Hingga hari ini saat aku menulisnya, aku telah memaafkan diriku sendiri. Jangan tanya aku butuh waktu berapa lama, yang pasti tak pernah sebentar. Mengalami pasang surut yang membuatku terbentuk menjadi apa.
Maka, aku tuliskan ini kepada kau, siapapun.
Barangkali, ada kebencian dalam dirimu yang membuat kau mengkambinghitamkan banyak hal, menuduh banyak kehidupan, mencari pembenaran, tidak apa, kita bertahan dengan itu. Tapi hari ini, aku harap kau juga melihat, bahwa akan selalu ada kesempatan untuk mengakui bahwa kita adalah manusia, yang bersalah. Hingga kau akan temukan jalan untuk kedamaian dirimu sendiri.
Aku mengatakan ini setelah perjalanan panjang, bertahun-tahun. Bahwa bagian paling penting yang kita butuhkan untuk diri sendiri bukanlah membunuh benci, meniadakan dendam, tapi memaafkan diri sendiri.
Sudah kau memaafkan dirimu?
Ditulis oleh Safiah Damayanti
Komentar
Posting Komentar