𝗡𝗶

Karena tinggal di dua kebisingan berbeda, akhirnya kita menjemput waktu untuk berjumpa di sehening-heningnya kota. Begitu tiba, sengaja kupakai penutup kepala bercorak ramai, biar kau tak sempat lihat betapa hatiku sebenarnya kerap terasa gelap. Ada pula bingkisan sederhana dariku untuk kau gantung di dinding kamarmu, yang - entah mengapa aku berharap - kelak dapat menjadi pengingat, bahwa kau tak perlu gantungkan senyummu di diri siapapun termasuk aku.

Ternyata, itu malah menciptakan genangan bening di pelupuk matamu, yang kemudian langsung deras membasahi seisi dadaku. Bermacam-macam cuaca, kulihat saling beradu di air mukamu, sampai kau ketakutan. Ya. Kau takut akan banyak hal, tak terkecuali pada ketenanganku. Maka, kau tak menjelaskan apapun, selain menggenggam tanganku dan bilang, "Tebak! Aku sedang dekat dengan siapa?" Karena tentangmu, kau selalu tahu, aku selalu tahu tanpa pernah aku tahu bagaimana.

Tak seperti biasanya, kenyataan yang kutebak dengan benar, kali ini malah membuatmu kalut. Namun, seperti biasanya, aku paham benar ke mana ini semua akan berakhir. Ialah, bukan di mana-mana, tapi di sini. Setelah ini, kau tak akan pernah melihatku lagi. Bagianku di dalam hidupmu, selesai. Tentu kau tak bisa bertanya mengapa atau bahkan meyakinkan aku, bahwa perpisahan kita bukanlah hal yang perlu. Sebab, kau menyadari, yang kau sambut untuk bersatu denganmu, adalah dia yang pernah bikin belenggu sampai tubuhku lebam membiru.

Kini, beberapa tahun setelah semuanya, doaku tentangmu masih sama. Tetaplah kau baik dan baik-baik saja. Berbahagialah kau selalu, sahabatku, bersama seseorang yang paling enggan kusebut sebagai mantan pecintaku.

Ditulis oleh Xerena Heranata 

Komentar

Postingan Populer